Jumat, 27 Januari 2017

basketballovers



Basketballovers



Kata mamah aku ganteng, begitu juga pacarku Lutfi. Dia bilang kita aneh. Kita homo. Entah Gay? Sama saja. Yang penting ada sisi cantik dalam diriku yang ditemukan Lutfi sehingga dia mau jadi pacarku.

Namaku Lia. Aulia Hassani Putri. Aku suka main basket bareng ketiga sahabatku Togar, Joni dan satu lagi orang blasteran yang pernah aku tolak karena alasan klise ‘kita sahabatan aja.’ Namanya Max, dia teman yang sedari kecilku dan entah mungkin hingga kini masih menyimpan perasaan padaku. Kembali lagi ke semula, aku berumur tujuh belas tahun dengan rambut berwarna hitam kemerahan karena terbakar sinar matahari yang sedari dulu tidak pernah tegerai melebihi leherku yang mungil minimalis, hidungku cukup mancung untuk menempa kacamataku yang minus dua dan tiga, silindris nol koma lima. Telingaku juga cukup tajam untuk mendengar ocehan sahabatku saat kalah di pertandingan basket melawan musuh abadi kami SMA S Heliks yang letaknya hanya beberapa blok dari tempat dimana sekolah kami berada.
“ Jadi gak nih? Lumayan gede duitnya. ” Bujuk Max,
“ Berapa? ”
“ 200k sekali main, kita dapet tiga kali. ”
“ Ok jemput gue pas maghrib ” aku menyudahi obrolan bersama Max lewat kabel telepon.

Max sudah didepan, aku baru keluar dari kamar mandi. Kulihat ada enam panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Lutfi, juga ada satu pesan singkat darinya,
‘ AKU KERUMAH KAMU SEKARANG, KITA BELAJAR BARENG YA? ’
‘ GABISA, AKU ADA URUSAN BANTUIN PAPAH BENERIN LOTENG. GAUSAH KESINI, KATA PAPAH FAMILY TIME. ’ Segera aku balas pesan singkat Lutfi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Lutfi tidak pernah tau bahwa aku bersama Max setiap malam minggu menjadi streetballer bayaran di tim-tim kelas menengah keatas untuk melawan pemain pro yang dibayar oleh sponsor terkenal.
Aku mematikan cakram berisi album lagu-lagu Slank, band kesukaanku sebelum aku turun kebawah menemui Max yang sedari tadi menungguku diatas motor CB klasiknya.
Ciao! ” kataku sambil melompat ke atas jok motor Max.

Motor Max menyusuri jalanan kota lewat CimahiMall menuju Cimindi lalu kearah bataskota hingga sampai di SSC, Soekarno-Hatta Sport Centre. Yang  sudah menjadi basecamp tempat para streetballer bayaran main disitu. Aku lihat Togar dan Joni sudah ada ditempat saat Max baru saja memarkirkan motornya.
“ Hei. ” Sapa Togar dan Joni bersamaan,
“ Cocok ya kalian lovebird. ” Canda Joni.

Semua tertawa kecuali aku yang hanya tersenyum kecut.

“ Apaan sih?! ”
“ Nih gue ama si Joni bela-belain dateng kesini buat ngedukung kalian. ” Kata Togar,
“ Iya siapa tau lu berdua menang banyak hari ini, terus dapet bonus gede. Kan bisa traktir kita-kita. Ya gak? ” Ucap Joni tersenyum penuh harap.

Sekarang semua tertawa, termasuk aku.

Dua pertandingan usai, kita memenangkan keduanya. Hanya tersisa satu lawan lagi sebelum aku dan Max harus memberi makan Togar dan Joni yang terlihat sudah kelaparan.
“ Kita untung besaaar… ” teriak Togar dari sisi lapang, aku tertawa.

Togar dan Joni tertawa kearahku, tetapi senyum yang diberikan oleh Max terlihat aneh dimataku. Matanya meminta lebih, aku gak suka itu. Pikiranku teralihkan, kini senyum seketika pudar saat melihat kapten tim basket SMA S Heliks ternyata lawan kami selanjutnya. Dia disewa oleh tim yang saat itu menjadi yang paling kuat di kompetisi. Max coba menenangkanku, aku sudah sedikit dingin.
Tiga kuarter sudah lewat, timku hanya terpaut tiga poin. Tersisa beberapa menit lagi kini bola berada ditanganku, dengan mudah aku melewati dua orang pemain yang sedang menjagaku, kini yang menjagaku adalah kapten tim basket SMA S Heliks yang saat itu tugasnya menjadi center, dimana tugasnya menjaga daerah bawah ring. Aku segera melompat untuk melakukan shoot, dia ikut melompat mencoba memblock bola yang ada di tanganku. Dia berhasil, tetapi dorongannya yang cukup atau sangat kuat itu menjatuhkanku ke permukaan lantai dimana siku tanganku-lah yang mendarat pertama kali. Aku berdarah. Aku dikeluarkan dari pertandingan, begitu juga Max. Dia ikut keluar setelah melihat tanganku terluka. Hari itu sangat kacau, kami kalah 103-98. Walaupun kami tetap mendapat upeti setelah pertandingan itu, aku tetap saja kesal dengan skor akhir kami yang mengecewakan. Entah mengapa Togar dan Joni yang saat itu tidak bermain, malahan mereka yang lebih menyimpan amarah pada lawan kami malam itu. Terlihat jelas dari cara mereka mengumpat.
 Kami segera jalan menuju tempat dimana CB tua milik Max itu diparkir. Aku kaget, disana terlihat Lutfi menungguku. Aku mendekat hendak menemuinya, Max ikut dibelakangku bersama Togar dan Joni disampingnya. Lutfi yang melihat tanganku diperban dengan obat merah terlihat menembus keluar dari perban itu, seketika memukul wajah Max. Tanpa ampun. Togar dan Joni mencoba melerai, Lutfi tetap memukul wajah max. Togar yang naik pitam segera membalas memukul wajah Lutfi, joni melerai mereka. Lutfi mundur, menarik tanganku menjauh darisana kearah motor ninja miliknya lalu membawaku pergi. Aku menyesal telah diam terlalu lama saat itu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk meleraikan mereka. Aku meminta Lutfi memberhentikan motornya, dia menurut.
“ Kamu kenapa sih!? ”
“ Kamu yang kenapa? Mana yang katanya familytime bareng papah? Kamu kenapa sih bohong sama aku?”
“ Aku gak mau kamu khawatir, itu aja! ”
“ Khawatir aku bukan tanpa alasan Lia, lihat sekarang? Kamu luka karena apa? Itu yang kamu sebut hidup untuk basket? Untuk dapet luka doang? Cewe bodoh macam apa sih kamu Lia? Harusnya kamu nyesel sekarang udah ikut-ikut yang kayak ginian! ”
“ Ini hidup aku Fi, ini gak ada bedanya kayak kamu yang cinta banget sama math sampe-sampe lupa kalau kemarin aniversarry kita yang kedua, kamu curang tau gak? ”

Lutfi terdiam, entah karena terkejut akan ucapanku atau karena dia melupakan hari penting kita. Aku seolah sedang lupa diri saat itu, aku menampar pacarku. Terlalu ringan rasanya,
“ Kita putus! ”

Aku berjalan menjauh darinya, dia tidak mengejar. Gravitasi membekukan kakinya untuk tetap berdiri dimana tempatnya berada, satu-satunya yang kutahu adalah dia sudah tidak mempertahankan hubungan kita malam itu.

Aku termenung dikala senja sudah hampir berganti malam, dikala keheningan menguasai seluruh hariku. Kunang-kunang kini sudah bisa menggantikan matahari yang turun dari tempat peraduannya. sudah selang beberapa minggu aku menghindar dari sahabatku dan juga Lutfi, aku bosan. Aku rindu bolabasket, aku rindu sahabatku, aku menyesal telah berkata kasar pada Lutfi.

Bolabasket menggelinding kearahku, membentur kakiku. Aku menoleh kearah dimana bola itu datang, aku terkejut, sangat. Sangat terkejut. Max, Lutfi, Togar dan Joni datang bersamaan. Membawa bolabasket lengkap dengan lima lawan yang wajahnya asing dimataku, Max dan Lutfi mengulurkan tangannya padaku, membantuku bangun.
“ Ready! ” teriak togar tepat dibawah ring basket
“ Ciao! ” aku tersenyum.

Hari itu kami berbaikan, aku kembali balikan dengan Lutfi, dan kini senyum Max ke aku sudah tidak aneh lagi. Dia mencoba bahagiakan aku dengan cara melepaskan, aku tahu itu sakit tapi memang begini seharusnya. Aku sayang Max dan akan begitu seterusnya hingga akhirnya waktu memisahkan kami. My bestfried is always be my bestplace to me to rest in the end of mylife.

0 komentar:

Posting Komentar

What's your problem huh?! :D